Sekilas Pengantar: IMF dan Krisis 1997

Oleh: Feni Endah

Perekonomian selalu menjadi buah bibir masyarakat, tentu hal ini adalah suatu kewajaran, karena menyangkut hak hidup orang banyak. Tak heran sejarah ekonomi mutlak dipelajari karena menyangkut perbaikan kebijakan selanjutnya agar tidak terulang lagi peristiwa yang tidak diharapkan. Indonesia tentu memiliki sebuah rentetan timeline sejarah ekonomi. Dinamika perekonomian di masa Orde Baru telah menarik perhatian untuk dibahas, baik di kalangan sejarawan, ekonom dan politisi.
Krisis Moneter 1997 menjadi padanan kata yang khas mengingatkan kita pada akhir sebuah rezim. Krisis Moneter 1997 memiliki pengaruh yang luar biasa bagi masyarakat Indonesia, PHK besar-besaran, harga barang melangit, inflasi tinggi, bahkan tak sedikit perusahaan yang bangkrut.
Sebuah wacana yang sudah muncul mengenai dampak dari penanganan yang keliru dalam mengatasi krisis moneter, yaitu menerima bantuan IMF. Indonesia sudah mengalami krisis yang begitu parah, diharapkan dengan bantuan IMF ini perekonomian Indonesia pulih. Namun dengan menerima paket bantuan sebesar 40 miliyar dollar yang terjadi adalah rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat.
Faktor lain yang menyebabkan rupiah melemah adalah istirahatnya Suharto di saat krisis moneter butuh penanganan cepat. Atas perintah dokter Suharto harus istirahat selama 10 hari, bahkan rumor yang beredar adalah terkena serangan jantung, dan bahkan santer diberitakan Suharto telah meninggal, semakin anjloklah harga rupiah mencapai Rp 17.000 terhadap dollar.
Paket penyelamatan IMF ternyata membuat Indonesia masuk ke jurang krisis semakin dalam. Ketidakmampuan masyarakat Indonesia dalam menghadapi krisis memunculkan beberapa peristiwa, diantaranya kerusuhan anti-Cina yang dicurigai memanipulasi krisis untuk mengambil keuntungan, juga peristiwa demonstrasi besar-besaran dari mahasaiswa di depan gedung DPR yang meminta secara keras untuk menurunkan Suharto dari jabatannya dari Presiden, karena sudah tidak mampu lagi mengatasi permasalahan stabilitas ekonomi. Hingga puncaknya Suharto mengundurkan diri dari kekuasaannya.
Kebijakan menerima bantuan IMF dirasa amat keliru, karena berdampak sistemik, terutama dari sisi ekonomi. Malaysia tanpa bantuan IMF kini menjadi negara maju dan bisa bersaing dengan negara lain dari sisi perkembangan ekonomi. Sudah seharusnya Indonesia menjadi negara mandiri yang tidak tergantung dengan bantuan asing yang justru melilit negara dengan utangnya yang semakin membengkak setiap tahunnya. Sebuah kondisi yang diharapkan adalah Indonesia memiliki stabilitas ekonomi, rendahnya inflasi, kemiskinan teratasi, sehingga rakyat sejahtera. Tentu ini akan terwujud apabila negara memutuskan hubungan bantuan luar negeri yang merugikan, terutama IMF. Karena selain kita harus membayar plus bunganya, juga harus menjalankan ”resep” IMF yang justru merugikan negara. Indonesia masih bisa mandiri tanpa IMF, karena Indonesia memiliki potensi yang melimpah baik dari SDA maupun SDM apabila diolah dengan baik, akan terwujud menjadi sebuah Independent State.

Sumber : Latar Belakang Makalah Saya
berjudul : ANTARA KRISIS MONETER INDONESIA 1997 DAN PENANGANAN KRISIS ALA IMF

Sejarah disesuaikan dengan Penguasa

Oleh: Feni Endah
Problematika pembelajaran sejarah dari sisi konseptual :
Sejarah disesuaikan dengan Penguasa

Sejarah ditulis karena ada peristiwa yang mempunyai pengaruh besar. Sejarah berbicara mengenai apa, dimana, kapan, siapa, kenapa dan bagaimana suatu peristiwa terjadi. Tentunya sejarah lebih banyak berbicara mengenai orang-orang besar, termasud didalamnya pemerintahan. Keadaan yang dialami di dunia pendidikan sejarah adalah sejarah ditulis dan dijadikan bahan pembelajaran di sekolah yang memang mendukung pemerintahan yang sedang berkuasa. Seperti pada masa Presiden Soeharto yang berkuasa, maka di buku pelajaran harus selalu mengangkat jasa-jasa beliau atas pemberantasan PKI, dan menjadi pemain tunggal dalam kancah pemerintahan selama Orde Baru berkuasa.
Dikutip dari sebuah artikel : “Winston Churchill, yang juga mantan jurnalis dan seorang penulis memoar yang berpengaruh, pernah berkata “Sejarah akan baik padaku, karena aku akan menulisnya.” Tetapi sepertinya, ia bukan secara literal merujuk pada karya tulisnya, tetapi sekadar mengulang sebuah kutipan mengenai filsafat sejarah yang terkenal: “Sejarah ditulis oleh sang pemenang.” [1]
Seyogyanya pendidikan merupakan cerminan sebuah komunitas, dimana para pelaku didalamnya, terutama para siswa bebas mencurahkan fakta, kritik, interpretasi dan analisisnya terhadap sebuah peristiwa yang berlangsung. Siswa akan cerdas apabila ia berfikir mendalam terhadap sesuatu hal. Pendidikan Sejarah adalah salah satu jembatan dalam membuat siswa berfikir mendalam, terutama untuk peristiwa yang telah terjadi agar dijadikan sebagai cerminan diri dan bangsa agar semakin maju menuju perubahan yang lebih baik. Keadaannya sekarang adalah, sejarah tidak jauh dari yang disebut subjektifitas pemerintah, atau sejarah versi pemerintah. Terkadang menutup-nutupi kenyataan, atau melebih-lebihkan. Ini yang memang sedang dialami oleh pendidikan sejarah.
Efek yang ditimbulkan dari penulisan sejarah sesuai pemerintah yang berlangsung adalah kurangnya kekreatifan dari para siswa, karena otomatis yang akan dianggap suatu kebenaran yang terdapat dalam buku pelajaran yang mereka miliki. Namun di sisi lain para penulis buku, penerbit dan guru tidak bisa berkutik, dikarenakan mereka harus mengikuti kurikulum yang berlaku yang tentunya dibuat pemerintah. Sehingga yang terjadi adalah keidealisan harus dikorbankan agar satu suara dengan pemerintah, namun apabila berseberangan, justru yang terjadi adalah tidak diterimanya buku di pasaran. Itulah sekelumit permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan sejarah, bukan hanya di Indonesia, di negara lain pun demikian.

Referensi :
[1] Elvadiani, Amalia. (2009). “Sejarah” Siapa? “Ditulis” Siapa?. Tersedia: [online] : http://indonesiabuku.com/?p=1520 [4 oktober 2010]