Meraih Ampunan Alloh

Diterjemahkan Oleh: Abu Fatah Amrulloh dari Penjelasan Hadits Arba’in No. 42 Syaikh Shalih bin ‘Abdul Aziz Alu Syaikh hafizhohulloh Murojaah: Ustadz Abu Ukasyah Aris Munandar Dan dari Anas bin Malik radhiallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shalallohu ‚alaihi wa sallam bersabda: … Baca lebih lanjut

Hadits tentang Mata Pencaharian dan Hasil Kerja

1. Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa, dll). (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)

2. Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat Jibril) membisikkan dalam benakku bahwa jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya. Karena itu hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan memperbaiki mata pencaharianmu. Apabila datangnya rezeki itu terlambat, janganlah kamu memburunya dengan jalan bermaksiat kepada Allah karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya. (HR. Abu Zar dan Al Hakim)

3. Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla. (HR. Ahmad)

4. Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah. (HR. Ahmad)

5. Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus (ditebus) dengan pahala shalat, sedekah atau haji namun hanya dapat ditebus dengan kesusah-payahan dalam mencari nafkah. (HR. Ath-Thabrani)

6. Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hambaNya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal. (HR. Ad-Dailami)

7. Seorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya maka itu lebih baik dari seorang yang meminta-minta kepada orang-orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak. (Mutafaq’alaih)

8. Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangan sendiri. (HR. Bukhari)

9. Apabila dibukakan bagi seseorang pintu rezeki maka hendaklah dia melestarikannya. (HR. Al-Baihaqi)

10. Seusai shalat fajar (subuh) janganlah kamu tidur sehingga melalaikan kamu untuk mencari rezeki. (HR. Ath-Thabrani)

11. Bangunlah pagi hari untuk mencari rezeki dan kebutuhan-kebutuhanmu. Sesungguhnya pada pagi hari terdapat barokah dan keberuntungan. (HR. Ath-Thabrani dan Al-Bazzar)

12. Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu pagi hari mereka (bangun fajar). (HR. Ahmad)

13. Barangsiapa menghidupkan lahan mati maka lahan itu untuk dia. (HR. Abu Dawud dan Aththusi)

Keterangan:

Hal tersebut khusus untuk lahan atau tanah kosong yang tidak ada pemiliknya. Jika lahan atau tanah kosong tersebut ada pemiliknya maka tidak boleh diambil dengan jalan yang bathil.

14. Carilah rezeki di perut bumi. (HR. Abu Ya’la)

15. Pengangguran menyebabkan hati keras (keji dan membeku). (HR. Asysyihaab)

16. Allah memberi rezeki kepada hambaNya sesuai dengan kegiatan dan kemauan kerasnya serta ambisinya. (HR. Aththusi)

17. Mata pencaharian paling afdhol adalah berjualan dengan penuh kebajikan dan dari hasil keterampilan tangan. (HR. Al-Bazzar dan Ahmad)

18. Sebaik-baik mata pencaharian ialah hasil keterampilan tangan seorang buruh apabila dia jujur (ikhlas). (HR. Ahmad)

Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) – Dr. Muhammad Faiz Almath – Gema Insani Press

hanya ingin mengungkapkan: subhaanallooh, menjemput rizki itu ternyata berat, penuh pengorbanan, dilematis dengan aktifitas/amanah lain, semakin diuji kesabaran…

Mengejar Predikat Mufassir

Keagungan Al-qur’an yang begitu memukau, saat membaca ayat per ayat, Al-qur’an memiliki nilai sastra yang istimewa. Tentunya umat Islam haruslah memiliki kemampuan berbahasa arab baik. Tak jarang kita mendengar terpesonanya orang-orang yang mengerti bahasa arab akan komposisi kalimat di Al-qur’an yang bukan kalimat biasa.

Tulisan ini diharapkan memacu untuk terus menggali Al-qur’an. Pada masa Khilafah Islam, mufassir banyak ditemukan, tentu karena kapabilitasnya yang mumpuni dan peran negara yang memicu kaum muslimin untuk menggali al-Qur’an dengan serius. Namun kenyataannya di zaman Kapitalisme ini sulit ditemukan para mufassir, karena kurangnya keinginan kaum muslimin untuk menggali agamanya lebih dalam secara kaffah dan peran negara yang sangat menghambat melahirkan generasi berkualitas standar Islam. Mudah-mudahan kita tidak termasuk di dalamnya, dan terus berusaha mewujudkan izzah Islam di muka bumi ini tanpa lelah, aamiin..

Berikut ada syarat-syarat menjadi seorang mufassir (ahli tafsir), mudah-mudahan memacu kita, amin..

1. Mengerti Bahasa Arab
Karena Al-Qur’an itu berbahasa Arab, mau tidak mau, seorang mufassir harus mengerti bahasa Al-Qur’an, yaitu bahasa arab. Menanggapi hal ini, maka Imam Malik pernah berkata: “Siapa pun tidak boleh menafsirkan Kitabullah Ta’ala tanpa mengetahui bahasa Arab terlebih dahulu”. Pengetahuan seorang mufassir terhadap bahasa Arab bukan hanya mengerti kosa kata (mufradat) bahasa arab, melainkan juga harus mengetahui tentang kata-kata yang musytarak, hakikat, majaz, isytiqaq dan sejenisnya.

2. Mengetahui Ilmu Nahwu
Arti suatu kata di dalam bahasa Arab bisa berbeda-beda, tergantung i’rab (fungsi katanya). Seseorang yang akan menafsirkan Al-qur’an, sementara ia tidak tahu ilmu nahwu, berarti ia sedang menuju kekeliruan yang merusak. Pentingnya ilmu nahwu bisa dilihat dari sebuah contoh bacaan ayat Al-Qur’an berikut:
أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas dari orang-orang musyrikin {TQS.At-taubah: 3}

Apabila huruf lam dari kata rasuluhu yang ada pada ayat ini di jar-kan (yaitu dikasrahkan sehingga dibaca rasulihi), tentu saja artinya menjadi lain, yaitu (menjadi): bahwa sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan (berlepas diri dari) Rasul-Nya
Jadi, anda bisa bayangkan, hanya merubah bacaan satu huruf (yang seharusnya dhommah, dibaca kasroh), arti ayat itu secara keseluruhan sudah lain, bahkan bertentangan dengan aqidah Islam. Karena itu, bagaimana mungkin orang yang tidak mengerti ilmu nahwu sanggup menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an dengan tepat dan benar?

3. Mengerti Ilmu Tashrif
Ilmu ini mengajarkan pengetahuan tentang asal-usul sebuah kata, termasuk pola kata kerja (sighat). Imam az-Zamakhsyari -dalam kitab tafsirnya al-Kasysyaf- memberi contoh bahayanya orang yang tidak mengerti ilmu tashrif, lalu berusaha menafsir-nafsirkan ayat al-Qur’an, sehingga terjerumus dalam kekeliruan fatal. Allah swt berfirman:
يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ
(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya. {TQS. Al-Isra: 71}

Kemudian ada seseorang yang mengatakan bahwa lafadz imam pada ayat tersebut merupakan bentuk jamak (plural) dari lafadz umm (yang berarti ibu), sehingga menurut orang tersebut, ayat tadi berati: (ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil setiap umat dengan ibu-ibunya (bukan bapaknya). Imam az-Zamakhsyari berkata: “inilah bukti kebodohan yang amat sangat mengenai ilmu tashrif!” Lafadz umm itu bentuk jamaknya bukan imam, melainkan ummahat.

4. Mengetahui Isytiqaq (Pecahan Kata)
Cabang ilmu ini termasuk penting, karena dapat mengetahui asal-usul kata. Jika seseorang mengetahui ilmu ini, maka ia dapat dengan lebih mudah menentukan suatu makna yang lebih tepat bagi kata tersebut. Misalnya saja, kata al-masih, yang merupakan gelar bagi Nabi Isa as, bisa ditelusuri asal usulnya untuk menentukan makna yang tepat baginya. Kata al-masih, apakah berasal dari kata siyahah (yang berati orang yang banyak melakukan ibadah) ataukah masaha (yang berarti mengusapkan telapak tangan)? Dalam konteks Nabi Isa as, keduanya bisa dipakai, karena beliau adalah ahli ibadah, sekaligus juga bisa menyembuhkan penyakit -atas izin Allah- hanya dengan mengusapkan telapak tangannya kepada orang yang sakit.
Seorang mufassir memerlukan pengetahuan yang cukup terhadap cabang ilmu ini.

5. Mengetahui Balaghah
Ini mencakup beberapa cabang ilmu, antara lain: ma’ani (retorika), bayan (kejelasan berbicara), badi’ (efektifitas kalimat). Cabang-cabang ilmu ini dapat menyelami keistimewa susunan suatu kalimat, ketetapan maksud dengan keserasian lafadz yang digunakan. Menguasai cabang-cabang dalam ilmu balaghah ini, berati seseorang dapat menikmati keindahan sastra yang tertuang di dalam ayat-ayat al-Qur’an, sekaligus menemukan mukjizat dari untaian Kalamullah.

Kelima cabang ilmu tersebut diatas, seluruhnya terikat dengan bahasa Arab. Untuk lebih menyempurnakan pemahaman dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an, seorang mufassir juga perlu melengkapi pengetahuannya dalam bidang yang dapat membantunya menggali makna dan hukum suatu ayat. Oleh karena itu ia juga dituntut untuk mengetahui tentang nasikh dan mansukh, asbabun nuzul, ushul fiqh dan ilmu hadits. Sebab sebagian besar dari para mufassir adalah orang-orang yang faqih, paham terhadap syari’at Islam dan memiliki kapasitas untuk menggali hukum dari ayat-ayat al-Qur’an.

Subhanallaah… ayo menuju syarat2 di atas… bismillaah…

Referensi : Anonim. (2008). Ringkasan Metodologi Tafsir. Bogor: PTI