2012: Saatnya Menggemakan Islam di Negeri Pertiwi

Tahun 2012 telah kita lewati beberapa bulan. Peristiwa demi peristiwa masih belum jauh dari fenomena tahun-tahun sebelumnya, seperti kasus korupsi yang terus bergulir dan tak kunjung habis, kecelakaan lalu lintas semakin meningkat, nasib TKI yang kian malang, maraknya geng motor yang membahayakan keamanan pengguna jalan, hingga kebijakan menaikan BBM yang dirasa zholim untuk masyarakat. Fenomena-fenomena yang terjadi di kuartal awal tahun 2012 ini tentunya menjadi kekhawatiran kita bersama akan kondisi bumi pertiwi yang tak kunjung usai dirundung problema.
Jika kita mencermati masalah sosial, politik, ekonomi dan hukum di negeri ini setiap tahunnya, kita akan menemukan sebuah fenomena yang sama dalam peristiwa yang berbeda. Seperti contoh masalah politik dan hukum, kasus korupsi yang terjadi di kalangan politisi pusat maupun daerah selalu memunculkan pelaku baru, dan selalu berujung tak terusut atau didakwa dengan tuntutan hukuman yang ringan.
Masalah sosial yang dialami TKI akhir-akhir ini yang dikabarkan menjadi korban penjualan organ tubuh, menjadi salah satu indikator bahwa pemerintah belum serius urus TKI. Kasus premanisme dan geng motor yang memakan korban, membuat masyarakat kehilangan rasa aman saat beraktifitas di sektor publik.
Pemerintah menambah daftar kemelut perekonomian negeri ini, dengan munculnya kebijakan yang ditunda, yaitu kenaikan harga BBM. Kenaikan ini mengharuskan masyarakat untuk “menambah mengencangkan ikat pinggang” atau bahkan menambah pendapatan. Tentu ini bukanlah hal mudah, mengingat sulitnya menjangkau pendapatan cukup/tinggi karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan, seakan rakyatlah yang harus kreatif, sedangkan pemerintah angkat tangan dengan dampak dari kebijakannya.
Kondisi yang telah disebutkan bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia, terlalu seringnya dizholimi oleh kebijakan dan sengsara dengan keadaan, membuat masyarakat semakin apatis terhadap perbaikan. Apabila dianalisis, kondisi ini bukanlah semata kekeliruan para pejabat mengurus rakyat, tapi lebih karena konsepsi politik yang menyebabkan kondisi negeri pertiwi carut marut. Negeri ini bisa dikatakan menerapkan sebuah ideologi Kapitalisme, dimana materi merupakan center of life. Seperti contoh misalnya kasus TKI, TKI merupakan pahlawan devisa dimana pemasukan dari pengiriman TKI keluar negeri menghasilkan dana yang cukup besar bagi pemerintah, kondisi ini terus “dipertahankan” oleh pemerintah, tanpa melihat kondisi dari TKI tersebut, pulang-pulang tinggal nama. Seandainya bukan orientasi materi, maka pemerintah haruslah menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi warganegaranya, bukan malah negara lain yang membiayai warga negara Indonesia.
Negara berorientasi materi, jelas merupakan cara pandang yang keliru, berujung memandang rakyatnya sebagai penghasil materi. Negara pun rela menjual sumber daya alamnya kepada pihak asing untuk dieksploitasi dan keuntungan besar masuk ke saku investor, sedangkan pemerintah hanya mendapat “sisa” keuntungan yang tak seberapa.
Seyogyanya sebuah negara berpandangan cemerlang terhadap warga negaranya, pemerintah adalah pelindung dan penyedia kebutuhan rakyat. Bukan malah berbanding terbalik, rakyat adalah penyedia kepentingan pemerintah. Pemerintahan yang pro rakyat, yang memandang rakyat bukanlah penghasil materi, tapi sebagai komponen pembangkit generasi bagi sebuah negara. Sehingga pengurusan negeri pun jelas, pendidikan menuju arah perbaikan generasi, bukan komersialisasi pendidikan yang membuat para orang tua banting tulang menutupi dana pendidikan dan para pelajar menjadi study oriented yang berujung apatis pada kondisi masyarakat.
Selanjutnya pemerintah menyediakan kebutuhan masyarakat, melalui pengelolaan sumber daya alam yang diperuntukan untuk rakyat, bukan untuk asing, termasuk masalah BBM bukanlah sebuah hal yang harus diributkan jikalau negara menasionalisasi kilang-kilang minyak yang dijual kepada asing. Dalam hal keamanan yang mulai mengusik masyarakat akhir-akhir ini, maka pemerintah menindaktegas para pelaku, dan menempatkan satuan keamanan/militer yang disebar di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal keamanan negara kurang menindaktegas, pasal dibuat hanya formalitas.
Tentunya kondisi ideal tidak akan muncul dalam Ideologi yang berorientasi pada materi belaka. Melalui Ideologi Islam yang memiliki konsepsi dalam berbagai bidang, yaitu bidang pemerintahan, ekonomi, hukum, pendidikan, militer, sosial maupun kesehatan. Ideologi Islam saat ini tidak dikenal, bahkan banyak kalangan yang hanya memandang Islam sebatas agama ritual, tanpa mampu menyelesaikan problematika negara. Padahal Rasulullah saw telah menjadi kepada negara di madinah, dan menyebarkan Islam ke daerah jazirah arab hingga dilanjutkan oleh kaum muslimin ke daerah-daerah asia, afrika utara, hingga spanyol.
Kondisi negeri pertiwi membutuhkan sebuah visi politik ideal, mandiri dan kuat, yaitu Islam. Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam, sistem Islam bukan hanya untuk ummat muslim, namun warga non muslim dalam naungan Islam hidup berdampingan, seperti yang sudah dicontohkan oleh para khalifah selama 13 abad. Islam merupakan ideologi mendunia, dan bisa diterapkan dalam sebuah institusi negara, yaitu Khilafah Islamiyah yang mampu mengangkat negeri ini dari keterpurukan menuju kegemilangan.

Liberalization of Higher Education in Law, It’s Real!

Penyusun tulisan: Feni Endah

Pada tanggal 10 April 2012 DPR-RI menggelar rapat paripurna yang mengadakan sidang pengesahan terakhir dari Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi menjadi Undang-Undang Pendidikan Tinggi . Pengesahan UU PT tidak lahir begitu saja, namun melalui proses panjang. UU PT merupakan pengganti dari UU BHP yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2010 dikarenakan lemah secara yuridis dan terlihat kuat komersialisasi pendidikannya.
Perancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi oleh DPR telah dimulai dari bulan November 2011 hingga bulan ke tiga tahun 2012 . RUU PT disusun untuk memberikan payung hukum terhadap pendidikan tinggi. Bukan hanya DPR yang memikirkan secara matang mengenai perumusan RUU PT ini, tapi tujuh Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (UI, UGM, ITB, UNAIR, UPI, IPB dan USU) membentuk tim kecil untuk merumuskan berbagai masukan dalam proses penyempurnaan Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi 11-12 Maret 2011 di Universitas Sumatera Utara (USU). Perwakilan dari tujuh PT BHMN se Indonesia itu juga membahas kewenangan otonomi perguruan tinggi. Pertemuan yang dikemas dalam tema “Merajut Kebersamaan Langkah dan Tindakan dalam Memperkuat Otonomi Perguruan Tinggi”, ditambah dengan pembahasan aspek manajemen organisasi, akademik, kemahasiswaan, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, serta pengelolaan keuangan PT BHMN yang mengikuti pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) .
Dengan disahkannya RUU PT, maka melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2012 yang disahkan pada 12 April 2012, UPI berubah status dari BHMN menjadi PT (Perguruan Tinggi) yang diselenggarakan Pemerintah dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum (BLU) .

a) Kritik Atas Pasal UU PT
• Sekularisasi Pendidikan Tinggi
Pada Pasal 10 ayat 2 tertera mengenai rumpun ilmu, rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas:
a. ilmu agama;
b. ilmu humaniora;
c. ilmu sosial;
d. ilmu alam;
e. ilmu formal; dan
f. ilmu terapan.
Terpisahnya agama dari ilmu lainnya dan menjadi satu disiplin ilmu tersendiri menunjukan agama tidak diintegrasikan ke dalam ilmu-ilmu lainnya. Hal ini menunjukan pemisahan agama dari kehidupan pendidikan, sekulerisme dunia pendidikan telah nyata tercantum dalam konstitusi negara.
• Infiltrasi Asing melalui perjanjian
Pada pasal 50 tercantum mengenai pembukaan Kerja Sama Internasional Pendidikan Tinggi, berikut beberapa ayat mengenai hal tersebut:
(1) Kerja sama internasional pendidikan tinggi merupakan proses interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan.
(2) Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada prinsip bebas aktif, solidaritas, toleransi, dan rasa saling menghormati dengan mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan yang saling memberi manfaat bagi kehidupan manusia.
(3) Kerja sama internasional mencakup bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Pada Pasal 94 berbunyi,
(1) Perguruan Tinggi negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau diakui di negaranya.
(3) Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Ayat-ayat di atas menunjukan bahwa Indonesia begitu membuka lebar jalan bagi asing untuk menanamkan pengaruhnya melalui pendidikan, bahkan menggunakan prinsip bebas aktif, tolerasndi dan saling menghormati, yang mengindikasikan bahwa Indonesia bersedia digempur asing secara aqliyah maupun nafsiyah.

• Pendidikan diprioritaskan untuk orang kaya

Pada Pasal 77 tertera ayat sebagai berikut,
(1) PTN wajib mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi.
(2) Program Studi yang menerima calon mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memperoleh bantuan biaya pendidikan dari Pemerintah, Pemerintah daerah, Perguruan Tinggi, dan/atau Masyarakat.

Pada Pasal 79:
(1) Pemerintah, Pemerintah daerah, dan/atau perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.
(2) Pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan:
a. beasiswa kepada mahasiswa berprestasi;
b. bantuan atau membebaskan biaya pendidikan; dan/atau
c. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.
Pemerintah hanya memberikan jatah, minimal 20% bagi rakyat miskin yang memiliki yang memiliki potensi akademik tinggi, sisanya orang miskin tidak berhak mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini pun disampaikan oleh salah satu anggota DPR, Tubagus Dedi S Gumelar mengenai anak keluarga miskin, menurutnya tidak semua anak pantas masuk ke universitas atau perguruan tinggi. “harus diseleksi pantas nggak anak itu, kalau disuruh bikin jurnal bakalan repot kalau dia tidak suka membaca, menulis, dan berpikir”
Bahkan dalam pasal 79 ayat 2 bagian c, mahasiswa dipinjamkan dana untuk membiayai pendidikan oleh pemerintah/perguruan tinggi, namun wajib melunasinya setelah lulus. Ironi, warganegara disuruh berutang kepada negaranya, yang seharusnya negara melindungi dan memberikan fasilitas pendidikan kepada warganegaranya, bukannya malah membebankan.

• Sumber Pendanaan Pendidikan Tinggi
Pada Pasal 88:
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pendanaan pendidikan tinggi.
(2) Pendanaan pendidikan tinggi yang diperoleh dari peran serta Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Perguruan Tinggi dalam bentuk:
a. hibah;
b. wakaf;
c. zakat;
d. persembahan kasih;
e. kolekte;
f. dana punya;
g. sumbangan individu dan/atau perusahaan;
h. dana abadi pendidikan tinggi; dan
i. bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada Pasal 90:
(1) Pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri dengan aktif memberikan bantuan dana kepada Perguruan Tinggi.
(2) Pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia industri atau anggota masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan penyelenggaraan pendidikan tinggi dan Perguruan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada Pasal 91:
Pemerintah dan Pemerintah daerah dapat memberikan hak pengelolaan kekayaan negara kepada Perguruan Tinggi untuk kepentingan pengembangan pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Perguruan Tinggi berubah orientasi menjadi wahana bisnis, bahkan pemerintah sendiri yang mendorong untuk pengembangan bisnis. Perguruan Tinggi menjadikan fasilitas kampusnya dikomersialisasi, bahkan membuka arena perdagangan di kampus. Sumber dana lainnya bisa didapatkan dari MoU dengan pihak luar untuk mendapatkan dana, yang berujung pada perguruan tinggi harus memenuhi kepentingan dari pihak yang diajak kerjasama. Selain itu dengan pemasukan dana dari orang tua mahasiswa yang nominalnya naik setiap tahun, tentu menambah kas perguruan tinggi. Mahalnya biaya pendidikan tinggi bukanlah penghakiman sepihak, tapi ini adalah realitas yang terjadi di perguruan tinggi.

• Statuta Perguruan Tinggi dan Majelis Pemangku
Pada Bab IV UU PT tentang Pengelolaan Perguruan Tinggi pada pasal 42 dan pasal 43, dijelaskan bahwa Statuta Perguruan Tinggi (statuta) pada dasarnya mengatur seluruh kegiatan akademik maupun nonakademik. Nonakademik adalah segala hal di luar urusan akademik, termasuk keuangan, prasarana dan kemahasiswaan, juga diatur oleh statuta ini. Statuta merupakan dasar dari dikeluarkannya peraturan pemerintah ataupun peraturan menteri yang secara langsung mengatur kehidupan akademik dan nonakademik kampus. Dengan kata lain, kehidupan kita sebagai mahasiswa sangatlah erat hubungannya dengan bagaimana isi statuta, baik itu kegiatan, berbagai kewajiban, hak-hak dasar, bahkan hingga organisasi kemahasiswaan.
Lalu siapa yang bertanggung jawab membuat dan merubah statuta ini? Suatu organ perguruan tinggi bernama Majelis Pemangku-lah yang memiliki fungsi tersebut (pasal 51 dan 43), serta menjalankan fungsi penentu kebijakan umum dan pengawasan nonakademik (pasal 47 ayat 2a). Saat ini, kurang lebih Majelis Pemangku sama fungsinya dengan Majelis Wali Amanah (MWA). Majelis Pemangku beranggotakan Menteri Pendidikan Nasional, gubernur, pemimpin (rektor), wakil dosen, wakil tenaga kependidikan (pegawai non-dosen), wakil masyarakat, dan tambahan Menteri Keuangan untuk Majelis Pemangku PTN Berbadan Hukum. Pada draft RUU ketiga yang diajukan DPR, sesungguhnya perwakilan mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika, dilibatkan dalam Majelis Pemangku. Apa yang dikhawatirkan peran Majelis Pemangku dengan tidak adanya posisi mahasiswa di dalamnya? Dua hal yang dapat disimpulkan menjadi bumerang bagi pendidikan tinggi di Indonesia; sistem portofolio dalam otonomi nonakademik bidang keuangan perguruan tinggi dan ketidakjelasan definisi wakil masyarakat dalam Majelis Pemangku.
Pertama, sistem portofolio (pasal 85), yaitu dimaksud dengan “portofolio” adalah penempatan investasi di berbagai bidang usaha atau bidang industri. investasi jangka panjang melalui pendirian badan usaha, dapat menciptakan suatu peluang masuknya pihak-pihak luar kampus ke dalam dinamika kampus tersebut. Peluang masuknya pihak luar adalah pihak-pihak yang memiliki dana untuk diinvestasikan di perguruan tinggi dan terlibat dalam urusan politik. Secara singkat : politik dekat dengan kekuasaan, kekuasaan dekat dengan uang, dengan adanya kekuasaan dan uang sangat mungkin pihak-pihak tertentu dapat “masuk” ke dalam kampus.
Kedua, dengan tidak terdefinisikan dengan jelasnya ‘wakil masyarakat’ dalam keanggotaan Majelis Pemangku, pihak-pihak tertentu tadi dapat menjadi anggota Majelis Pemangku. Dengan fungsi superior-nya, Majelis Pemangku memiliki “kekuasaan” lebih dalam mengatur perguruan tinggi, dan dengan tersisipkannya pihak dengan kepentingan tertentu di dalamnya, bukan tidak mungkin fungsi-fungsi mahasiswa, kehidupan kampus, bahkan riset-riset dosen dapat didikte secara halus dilandasi akan kepentingan golongan, bukan lagi pada dasar kebenaran ilmiah dan keilmuan

b) Pemerintah Mewujudkan Agenda Liberalisasi Pendidikan Tinggi
Diskursus mengenai liberalisasi pendidikan tinggi sudah muncul semenjak ditandatanganinya General Agreement on Trades in Services (GATS) oleh negara anggota WTO (World Trade Organization). Dalam persetujuan itu, ada 12 sektor jasa yang sepakat untuk diliberalisasi, salah satunya sektor pendidikan tinggi. Liberalisasi pendidikan tinggi bermakna transformasi pendidikan sebagai “komoditas”. Artinya, pembiayaan pendidikan tinggi juga akan dilepaskan dari sentralitas negara. Hal ini terjadi karena pendidikan telah menjadi jasa komersil yang memiliki prospek menguntungkan, maka proses pendidikan tinggi juga harus masuk pada logika “pasar”, sehingga pembiayaan pendidikan tidak lagi bertumpu pada subsidi pemerintah, tetapi pada pembiayaan yang mandiri dari universitas.
Konsekuensi dari liberalisasi pendidikan adalah lepasnya peran negara dalam membiayai pendidikan. Sebagai gantinya, perguruan tinggi akan mencari sumber pembiayaan lain untuk memastikan operasionalisasi akademik tetap berjalan. Dengan demikian, kenaikan biaya masuk pendidikan tinggi menjadi tak terhindarkan. Selain kuliah kian mahal, kampus juga berpotensi besar melakukan komersialisasi atas fasilitas pendidikan .
UU PT akan membuat kampus seperti pabrik, pendidikan sebagai komoditas, dan mahasiswa hanyalah konsumen sekaligus korban, maka tidak selayaknya pendidikan dijadikan sebagai barang dagangan pemerintah. Sehingga berujung pada output pendidikan tinggi yang berorientasi pada materi, dan bagi yang tidak mengenyam pendidikan hanya akan menjadi buruh-buruh yang dihargai murah, sehingga pendidikan dalam sistem kapitalisme hanya membuat generasinya mengalami pembodohan sistematis.

c) Islam Menyelesaikan Tuntas Problematika Liberalisasi Pendidikan
Permasalahan liberalisasi pendidikan akan dialami dalam sebuah sistem yang berorientasi pada kapital, yaitu sistem kapitalisme yang kini diemban oleh negeri Indonesia. Pendidikan tinggi dalam sistem kapitalisme terbatas hanya kalangan menengah ke atas, sehingga akan terjadi ketimpangan sosial. Pendidikan terkena imbas dari sebuah sistem yang diterapkan negara, karena pendidikan adalah bagian dari penggerak pilar sistem, termasuk implikasi pada pendidikan tinggi dari UU PT yang sudah disahkan oleh anggota legislatif
Pengelolaan pendidikan tinggi membutuhkan sebuah paradigma baru yang jauh dari diskriminasi orang kaya dan miskin, juga terhindar dari sekularisasi. Penyelenggaraan pendidikan termasuk pendidikan tinggi merupakan kewajiban pemerintah,seperti yang tertera dalam hadits, “Imam adalah penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Al Bukhari) . Negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana negara memberi jaminan tak langsung, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurahman Al-Maliki, 1963) . Pengelolaan ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang berideologikan Islam yang disebut Khilafah Islamiyah. Dimana negara khilafah Islam ini berbasiskan ‘aqidah Islam, dan memiliki seperangkat aturan dari Sang Kholik, yang tersusun rapi dalam al-qur’an dan as-sunnah. Begitupun masalah pengelolaan pendidikan tinggi, syari’at Islam telah mengatur hal tersebut.
Pengelolaan pendidikan dalam Islam memiliki karakteristik yang khas, seperti:
1. Pendidikan Bagi Siapa Pun
Tidak ada batasan usia dalam pendidikan Islam, dan pendidikan dapat diakses oleh siapapun yang menjadi warga Negara Khilafah Islam, tanpa memandang kaya-miskin, tua-muda, Muslim-kafir.
2. Sistem Pendidikan Islam Tidak Berorientasi Pada Nilai Angka/Berujung pada Materi
Pencapaian target pendidikan tidak dilihat dari nilai angka. Seseorang dapat dinyatakan lulus jika telah menguasai ilmu yang telah dipelajarinya. Ujian dilakukan secara lisan. Saat ini di sistem kapitalisme pendidikan berorientasi pada nilai dan materi, karena pendidikan untuk pekerjaan. Hal ini wajar, karena negara tidak mengurusi kebutuhan pokok rakyatnya, sehingga wargenegara kapitalis melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan dalam Islam, negara berkewajiban mengelola sumber kebutuhan pokok warganegaranya dan didistribusikan secara gratis.
3. Pembiayaan Pendidikan Islam Gratis
Pendidikan dalam Islam diselenggarakan oleh Negara dengan gratis, sehingga dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Negara membiayai pendidikannya dari hasil SDA yang melimpah ruah.
Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari negara (Baitul Mal). Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan), berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur (Muhammad, 2002).
Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu : (1) pos fai` dan kharaj –yang merupakan kepemilikan negara– seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Sedangkan pendapatan dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; An-Nabhani, 1990).
Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Hutang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin (Al-Maliki,1963).
Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990)
Khilafah Islam mampu menopang biaya pendidikan tinggi, negaralah yang menjadi tumpuan ummat, bukan asing, atau banting tulang orang tua hingga menghalalkan segala cara. Dengan menerapkan syari’at Islam pendidikan tinggi memiliki prospek yang cemerlang, baik dari kualitas generasi, maupun pembiayaan pendidikan.
Wallohu’alam bishowab.

Sumber:
http://bemkmugm.org/?p=97
http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/04/ruu-pt-sebuah-ruh-undang-undang-bhp-yang-diperindah/
http://www.infogue.com/viewstory/2011/03/15/7_perguruan_tinggi_bhmn_rumuskan_penyempurnaan_ruu_pt/?url=http://beritasore.com/2011/03/15/7-perguruan-tinggi-bhmn-rumuskan-penyempurnaan-ruu-pt/
http://www.upi.edu/spot/id/81/UPI-Berubah-dari-BHMN-Menjadi-PT-yang-Diselenggarakan-Pemerintah
http://news.detik.com/read/2012/03/22/152514/1874570/10/ruu-pendidikan-tinggi-akan-disahkan-4-april-2012
http://hizbut-tahrir.or.id/2012/04/16/telaah-kritis-ruu-pendidikan-tinggi-2012/
http://www.tribunnews.com/2012/04/04/ruu-pendidikan-tinggi-bentuk-liberalisasi-gaya-baru
http://www.globalmuslim.web.id/2011/08/pendidikan-gratis-dan-bermutu-dalam.html
http://immaro.multiply.com/journal/item/35/PEMBIAYAAN_PENDIDIKAN_DALAM_ISLAM?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
http://immaro.multiply.com/journal/item/35/PEMBIAYAAN_PENDIDIKAN_DALAM_ISLAM

Alhamdulillaahirobbil’aalamiin..

segala puji hanya bagi Allah, Robb seluruh ‘alam.
alhamdulillah, belajar dari hidup memang membekas.
satu-satunya Dzat yang tak pernah meninggalkan kita hanyalah Allah swt.
manusia tidak pernah mengerti kita 100%, tapi Allah sangat mengerti dirimu, melebihi siapapun.
saat kau hanya bisa bercerita kepada manusia hanya sepenggal saja dari perasaanmu (karena sy yakin saat kau bercerita kpd manusia tidak sepenuhnya, full semua-mua kau ceritakan). tapi Allah begitu memahamimu..
Allah begitu dekat dengan kita, kitalah yang sering menjauh…

Jikalau dalam teori ilmu politik dunia ketiga/negara berkembang ada teori ketergantungan, maka teori itu bisa saja tak terpakai saat negara dunia ketiga menjadi negara mandiri.

Manusia sesungguhnya dan seharusnya bergantung kepada Allah swt..

bukan kepada manusia, jangan menggantungkan diri kepada manusia, tergantung utk bercerita, ingin difahami teman.

bagi saya, teman pun pasti byk masalah, jgnlah menambah masalah mereka dgn masalah kita..

sungguh bahagia,,

saya bahagia dgn bungkam urusan pribadi..

namun kabarkan berita yg membangkitkan semangat perjuangan,,